other blog : The Magic of Word

My Other Blog The Magic Of Words

Minggu, 14 Agustus 2011

tak seindah teori



gw gak tau ada yang baca apa gak nih blog, seandainya emang gak ada yah gak apa-apalah nanti gw promoin aja buat anak cucu :)  . hari ini tiba-tiba kepengan nulis  dan menulis kata-kata dari langit.

        setelah masuk kuliah, entah ini berlaku bagi banyak orang. sebenarnya adalah salah satu masa-masa  yang mendewasakan mungkin itu karena pengaruh umur atau lingkungan? gw sendiri belum tau pasti penyebabnya . yang jelas banyak hal  terselubung dan tiba-tiba secara membabi buta menyerang kehidupan gw . 
         hal-hal yang gak gw dapet dari dunia manja dan kesenangan masa SMA. Suatu saat lo harus siap cepat atau lambat menghadapi persoalan dan kenyataan yang bahkan membayangkannya aja gak sanggup . tapi belakangan ada tukang parkir ngomong ke gw dan cukup menusuk
“ apapun permasalahan yang datang pasti membawa manfaat, suatu saat nanti”  teorinya memang indah but i know this man, tindakannya memberi gw keyakinan atas nasehatnya .  
        momentnya pas banget dengan masalah yang lagi gw hadepin dan kata-kata dari langit pun turun  “ yang jadi persoalan bukan lah seberapa besar masalah , tapi sikap mu terhadap masalah“

Senin, 07 Maret 2011

Butet Manurung : peraih penghargaan internasional di bidang pendidikan dan sosial

Butet Manurung: Gak Keren Mati Tanpa Dikenang

Lifestyle + / Senin, 5 April 2010 11:18 WIB
Adalah Saur Marlina Manurung, wanita berdarah Batak kelahiran Jakarta, 21 Februari 1972, yang sempat nampang di majalah Time Asia. Siapakah dia, begitu hebatnya bisa masuk dan menjadi tokoh yang dibahas di dunia internasional? Kita mengenalnya sebagai Butet Manurung, sosok wanita hebat yang mau masuk ke pedalaman hutan untuk menjadi guru bagi anak-anak primitif yang sebelumnya tak pernah mengecap bangku pendidikan.

Butet Manurung, menuai prestasi yang luar biasa, sejumlah penghargaan besar berhasil diperolehnya antara lain, Man and Biosfer Award 2001, Woman of the Year bidang pendidikan AnTV 2004, Hero of Asia Award by Time Magazine 2004, Kartini Indonesia Award 2005 dan Ashoka Award 2005, Ashoka Fellow 2006, dan Young Global Leader Honorees 2009. Wanita yang aktif mengelola yayasan SOKOLA, yang didirikan tahun 2003 itu memang pantas menyandang semua penghargaan yang diterimanya. Pasalnya, ia adalah wanita pejuang yang memang benar-benar berusaha mewujudkan impiannya dan tulus menjalani profesinya sebagai seorang guru di hutan pedalaman, di tempat di mana orang-orang yang tinggal dipandang sebelah mata dan seringkali dianggap sebagai orang yang bodoh dan tak berpendidikan.

Butet lahir dari keluarga berada yang tak cukup memberikannya kebebasan menjelajah alam. Masa kecilnya bahkan sempat dinikmatinya di Leuven, Belgia. Sisa hidupnya ia jalani di kota besar Jakarta, yang selalu penuh dengan hiruk pikuk dan kemewahan modernisasi kota. Lulus dari sekolah menengah atas, ia kemudian kuliah di UNPAD, Bandung. Dua bidang studi ditempuhnya bersamaan, dan ia menjalani kuliah sambil kerja sambilan mengajar organ dan matematika. Diam-diam dari hasil kerja sambilannya ia menabung, agar setiap bulan ia bisa naik ke gunung, begitulah cita-cita kecil Butet yang sangat cinta akan alam.

Tak seperti gadis kota biasanya, ia adalah seorang pecinta alam yang tangguh dan tidak manja. Puncak Trikora, gua Wikeda di Wamena, gua Maros, Annapuna Range Himalaya, Ujungkulon, Banten, Timor, hingga NTT pernah ia sambangi. Gadis macam apa yang begitu tergila-gila pada alam ini? Gadis ini adalah gadis yang sempat terketuk hatinya saat melihat suku Rimba, di pedalaman rimba Jambi. Suatu saat perjalanan alam membawanya ke sana, dan konon orang Kubu (sebutan untuk suku Rimba) dikenal sebagai suku yang bodoh, miskin dan primitif. Banyak kasus penipuan yang memang terjadi di sana, perampokan hasil alam seringkali terjadi tanpa disadari oleh penduduk. Mereka sering ditipu dan dibodohi oleh orang kota, orang yang mungkin duduk di atas kursi empuk dengan jas dan dasi melekat di tubuhnya. Seketika itu Butet terdiam dan merenung, ia harus melakukan sesuatu! Itulah awal niatannya membuat sekolah alam, dan mengajarkan mereka banyak hal.


Butet tidak mengajar di dalam ruangan ber-AC seperti guru-guru lainnya, dengan meja dan kursi nyaman yang lengkap atau di depan komputer berteknologi tinggi yang siap dihubungkan dengan koneksi internet. Ia hanya duduk di atas batang pohon yang sudah tumbang atau di atas bebatuan hitam legam yang nyaman bak pualam, dengan semilir dan kesegaran dari alam. Tak ada AC di sana, tak ada meja dari kayu, kursi yang nyaman, dan tak ada teknologi internet. Ia mengajar dengan bekal beberapa buku sederhana yang mungkin sudah dibuang dan dikilokan di kota. Sudah mendapat tempat mengajar yang tak nyaman, tak serta merta kebaikan hatinya diterima pula. Butet, pernah sempat merasakan putus asa, karena penolakan yang ditunjukkan suku Rimba kepadanya. Mereka adalah orang-orang primitif yang masih percaya pada adat dan budaya. Sehingga mereka tak mau terbuka pada pendidikan, yang mereka anggap menyalahi adat dan budaya. Bahkan terlebih mereka takut bahwa mereka akan ditipu lagi seperti biasanya.

Ya, itu adalah ujian terberat bagi Butet pada awal ia berusaha mengenalkan pendidikan pada orang Kubu. Namun kemudian Butet sadar, bahwa mungkin caranya terlalu memaksa dan salah. Suku Rimba butuh diyakinkan, bukan dipaksa. Mereka hanya takut dan belum mengerti, bukan berarti mereka bodoh dan tidak mau. Mereka hanya butuh kepastian bahwa apa yang akan mereka terima itu baik, itu saja. Sejak saat itu Butet mulai belajar dan mengenal kebiasaan Suku Rimba, ia rajin mengamati dan mengikuti keseharian mereka. Ia tinggal bersama mereka, tidur di tempat yang sama, makan apa yang mereka makan, bertelanjang kaki dan merasakan gelinya lumpur serta tanah yang menempel di telapak kaki, mengenakan kemben sederhana yang mungkin membuat tubuh menggigil kedinginan. Butet mencoba memahami dan merasakan bagaimana sih menjadi bagian Suku Rimba itu. Butet sangat kagum pada mereka yang mampu menyusuri sungai dan hutan tanpa tersesat, ia kagum pada anak-anak yang tangkas memanjat pohon tanpa rasa takut akan jatuh, ia kagum pada keramahan alam yang seolah membuai para penduduk dan menjaga mereka dengan baik.

Masuk dalam kehidupan Suku Rimba tentu bukan sesuatu yang mudah baginya. Hidup di alam tentunya tak akan semanja di kota, yang walaupun macet, masih ada tempat tidur dan kasur empuk menanti. Di alam, ia tidur di atas akar, menyusuri rawa atau sungai yang kemudian membuatnya ketakutan akan lintah yang menempel di tubuhnya, ia takut akan harimau yang sewaktu-waktu menerkamnya, juga akan kegelapan dan kesunyian danau yang di malam hari bagaikan sebuah scene film horor. Butet juga takut, namun ia berhasil mengatasi rasa takutnya. Ia tidak menyerah, tapi ia terus berusaha.

Dalam mengajar, Butet tidak tinggal menetap di satu daerah saja, ia berpindah-pindah dari desa satu ke desa lain dengan mengajarkan hal yang sama, mulai dari membaca, menulis, menjelaskan persoalan hukum terutama pembalakan liar agar mereka tak ditipu lagi dan mengajarkan mereka bagaimana cara membela dan mempertahankan tanah serta hasil alam mereka. Jika dulu mereka hanya diam dan hanya bisa melarang para pembalak liar, kini mereka memperingatkan pembalak liar dengan hukum dan sudah tahu harus melapor ke mana jika terjadi tindak kriminal. Mereka bukan orang yang bodoh, mereka benar-benar belajar sungguh-sungguh dan mereka belajar dengan cepat!

Empat tahun lamanya ia menyusuri pedalaman rimba, ia keluar dan kembali ke ibukota dengan senyum dan kebanggaan. Ia pun menjadi inspirasi beberapa relawan yang akhirnya bergabung dalam yayasannya, dan hingga kini ia masih meneruskan perjuangannya. Ia tak pernah lupa bagaimana beruang membuatnya ketakutan, bagaimana mimpi buruk menghantuinya, bagaimana jantungnya berdegup kencang setiap malam karena takut ada hewan buas menyerangnya. Namun ia tak ingin berhenti mewujudkan impiannya, bukan lintah, beruang, harimau atau ular yang akan menghentikan impiannya, bahkan bukan juga kematian. "Gak keren mati tidak ada yang mengenang," kata Butet seperti dicuplik dari waspada.co.id, itulah sepenggal semangat Butet yang patut kita tiru dan jadikan teladan. Sematkan semangat Butet ini di setiap usaha Anda menggapai impian, bukan demi materi atau demi penghargaan semata, namun karya di dalam hidup adalah harta yang paling berharga. (Kpl/ICH)

sumber http://metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/04/05/14410/Butet-Manurung-Gak-Keren-Mati-Tanpa-Dikenang/

Sabtu, 19 Februari 2011

Bonnie St John Deane : Satu kaki dengan segudang Prestasi



Bonnie St. John Deane seorang wanita afrika – amerika yang di besarkan di rumah sakit dan  hanya berkaki satu karena harus di amputasi , ia bisa belajar main ski. Peluang besar nya datang ketika sebuah akademi ski yang elit di Vermont menerima nya sebagai muridnya, Selama tiga bulan ia mencari hibah, bea siswa, dan sponsor untuk biaya masuk tetapi sia-sia untungnya sang Kepala Sekolah tetap menerimanya. Bertahun-tahun kemudian dia meraih medali perak di Olimpiade Austria. Semenjak itu dia terus memotivasi dirinya dan berhasil meraih gelar  Sarjana Ekonomi dari Harvard serta Oxford, memenangkan beasiswa Rhodes, memenangkan penghargaan sebagai pramuniaga IBM, dan meraih pujian tinggi sebagai pejabat Gedung Putih di Dewan Ekonomi Nasional

“janganlah terperangkap oleh kenyataan anda yang sekarang”  - Bonnie St. John Deane

Sabtu, 12 Februari 2011

Septinus George Saa, putera Papua, pemenang kompetisi "First Step to Nobel Prize in Physics".

Septinus George Saa, seorang putera Papua, memenangi kompetisi "First Step to Nobel Prize in Physics".

Ini adalah perlombaan bergengsi bagi sekolah tingkat menengah seantero jagad selain Olimpiade Fisika. Kompetisi yang digagas Waldemar Gorzkowski 10 tahun silam ini mewajibkan pesertanya melakukan dan menuliskan penelitian apa saja di bidang fisika. Hasil penelitian tersebut kemudian dikirimkan dalam bahasa Inggris ke juri internasional di Polandia. Sementara dalam Olimpiade Fisika, para perserta diwajibkan mengerjakan soal-soal fisika dalam waktu yang sudah ditentukan. Pada kompetisi "First Step to Nobel Prize in Physics" tersebut hasil riset Septinus George Saa tidak menuai satu bantahan pun dari para juri.

Oge, demikian panggilan akrabnya, menemukan cara menghitung hambatan antara dua titik rangkaian resistor tak hingga yang membentuk segitiga dan hexagon. Formula hitungan yang ia tuangkan dalam papernya "Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor" itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang masuk ke meja juri. Para juri yang terdiri dari 30 ahli fisika dari 25 negara itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal Jayapura ini menggondol medali emas.

Paper Oge yang masuk lewat surat elektronik di hari terakhir kompetisi itu dinilai orisinil, kreatif, dan mudah dipahami. Tak berlebihan jika gurunya Profesor Yohanes Surya mengatakan formula Oge ini selayaknya disebut George Saa Formula. terakhir yang saya tahu dia sudah bekerja di salah satu perusahaan multinasional di Jakarta

saya sudah pernah ngobrol via chat dengan dia 2 tahun lalu saat dia akan di wisuda dan memberi saya kutipan yang sangat baik
" jangan mau di dekte oleh keadaan, kita lah yang harus mengubah keadaan " - George saa

Jumat, 11 Februari 2011

Seratus tokoh paling berpengaruh di dunia oleh Michael H. Hart


01.Nabi Muhammad 51. Umar Ibn Al-Khattab
02. Isaac Newton 52. Asoka
03 Nabi Isa 53. St. Augustine
04. Buddha 54. Max Planck
05. Kong Hu Cu 55. John Calvin
06. St. Paul 56. William T.G.Morton
07. Ts’ai lun 57. William Harvey
08. Johann Gutenberg 58. Antoine Henri Becquerel
09. Christopher Columbus 59. Gregor Mendel
10. Albert Einstein 60. Joseph Lister
11. Karl Marx 61. Nikolaus August Otto
12. Louis Pasteur 62. Louis Daguerre
13. Galileo Galilei 63. Joseph Stalin
14. Aristoteles 64. Rene Descartes
15. Lenin 65. Julius Caesar
16. Nabi Musa 66. Francisco Pizarro
17. Charles Darwin 67. Hernando Cortes
18. Shih Huang Ti 68. Ratu Isabella I
19. Augustus Caesar 69. William Sang Penakluk
20. Mao Tse-Tung 70. Thomas Jefferson
21 Jengis Khan 71. Jean-Jacques Rousseau
22. Euclid 72. Edward Jenner
23. Martin Luther 73. Wilhelm Conrad Rontgen
24. Nicolaus Copernicus 74. Johann Sebastian Bach
25. James Watt 75. Lao Tse
26. Constantine Yang Agung 76. Enrico Fermi
27. George Washington 77. Thomas Malthus
28. Michael Faraday 78. Francis Bacon
29. James Clerk Maxwell 79. Voltaire
30. Orville Wright & Wilbur Wright 80. John F. Kennedy
31. Antone Laurent Lavoisier 81. Gregory Pincus
32. Sigmund Freud 82. Sui Wen Ti
33. Alexander Yang Agung 83. Mani
34. Napoleon Bonaparte 84. Vasco Da Gama
35. Adolf Hitler 85. Charlemagne
36. William Shakespeare 86. Cyrus Yang Agung
37. Adam Smith 87. Leonhard Euler
38. Thomas Edison 88. Niccolo Machiavelli
39. Antony Van Leeuwenhoek 89. Zoroaster
40. Plato 90. Menes
41. Guglielmo Marconi 91. Peter Yang Agung
42. Ludwig Van Beethoven 92. Meng-Tse (Mencius)
43. Werner Heisenberg 93. John Dalton
44. Alexander Graham Bell 94. Homer
45. Alexander Fleming 95. Ratu Elizabeth I
46. Simon Bolivar 96. Justinian I
47. Oliver Cromwell 97. Johannes Kepler
48. John Locke 98. Pablo Picasso
49. Michelangelo 99. Mahavira
50. Pope Urban II 100. Neils Bohr
                      Tokoh-Tokoh Terhormat Yang Tertinggal
St. Thomas Aquinas Archimedes
Charles Babbage Khufu (Cheops)
Marie Curie Benjamin Franklin
Mohandas Gandhi Abraham Lincoln
Ferdinand Magellan Leonardo Da Vinci

Liz murray : dari jalanan hingga ke Harvard University

Ini bukan sinetrLiz Murray, dari Jalanan sampai Kuliah di Harvardon atau film. Ini adalah sebuah cerita sukses yang telah menginspirasi banyak orang dalam menghadapi kehidupan.

Cerita ini datangnya dari Elizabeth (Liz) Murray.

Liz Murray dahulu hanyalah seorang wanita muda yang hidup di jalanan kota New York, kota megapolitan di Amerika Serikat yang terkenal dengan tingkat kriminalitasnya yang tinggi.

Namun siapa sangka, ternyata ia bisa lulus dari Harvard University, tampil di Oprah Winfrey Show, dan kisahnya menjadi sebuah film televisi yang memenangkan penghargaan.

Kisah Liz Murray ini hampir sama dengan Frank O’dea, mantan tuna wisma yang kini menjadi pengusaha bisnis kedai kopi di Kanada.

Bedanya, Liz menjadi tuna wisma karena memiliki orang tua yang kecanduan obat-obatan, sementara Frank karena dirinya sendiri yang kecanduan minuman keras. Keduanya menggunakan kisah luar biasa mereka untuk menginspirasi orang lain.

Liz Murray sendiri saat ini memang menjadi seorang pembicara motivasi, tapi siapa sangka kalau dahulunya ia sering mencuri buku-buku pengembangan diri seperti milik Tony Robbins dan Stephen Covey?

Ya, itu memang benar-benar terjadi, sampai akhirnya Liz bisa bertemu langsung dengan Stephen Covey.

Wanita yang lahir tahun 1980 ini kehilangan ibunya di tahun 1996 karena HIV/AIDS. Setelah itu, ia pun tak memiliki tempat tinggal lagi, dan ayahnya pindah ke tempat penampungan tuna wisma.

Kejadian tersebut justru membuat Liz semakin ingin mengubah hidupnya. Meski tak memiliki tempat tinggal dan hidup di jalanan kota New York, Liz tetap berniat untuk bersekolah di SMA dan sekaligus menghidupi adiknya.

Liz bahkan bisa menyelesaikan SMA hanya dalam waktu dua tahun, dan mendapat beasiswa dari The New York Times untuk melanjutkan kuliah di Harvard University, sebuah universitas terkemuka tempat orang-orang sukses pernah belajar, seperti Bill Gates (Microsoft) dan Conan O’brien (pembawa acara dan komedian).

Namun, pada tahun 2003, Liz memutuskan untuk keluar dari Harvard dan pindah ke Columbia University agar bisa lebih dekat dengan ayahnya. Ketika ayahnya meninggal karena HIV/AIDS, Liz pun kembali ke Harvard di tahun 2008, dan kerja kerasnya berbuah manis ketika di tahun 2009 ia berhasil meraih gelar dalam bidang psikologi.

Apakah yang membuatnya bisa mengalahkan semua kesulitan yang ia temui?

Komitmen.

Liz mengatakan dalam sebuah wawancara di Success Magazine bahwa:

"Sebelum saya mengalami perubahan ini, saya selalu memiliki ilusi yang saya sebut jika-begini-maka-begitu. Jika saya menemukan tempat yang tenang, maka saya akan belajar. Jika saya punya uang, maka saya akan sekolah. Kita hanya melakukan itu jika tak memiliki komitmen nyata untuk tujuan kita. Kita mengatakan, "Saya berkomitmen...kecuali.' Ada perbedaan besar antara hal tersebut dan komitmen mutlak. Komitmen mutlak berarti Anda akan bekerja di sebuah lorong."

Ya. Ketika masih sekolah, Liz memang belajar di lorong tempat tinggal temannya di Bronx. Ia menyebar buku-bukunya di sana, dan mulai belajar dalam keheningan.

Kisahnya yang begitu inspiratif akhirnya menarik media untuk mempublikasikannya, termasuk ratu talk show dunia, Oprah Winfrey. Film televisi berdasar kisah nyatanya pun telah dibuat di tahun 2003 dengan judul “Homeless to Harvard”, yang berhasil mendapat nominasi Emmy Awards, serta sebuah penghargaan dari American Cinema Editors.





sumber www.justelsa.com

“..ketika perubahan terjadi pada diri saya, saya bisa membuat perubahan pada hidup." – Liz Murray